Seminggu setelah kepergian Ibu, anjing-anjing kami masih terlihat lemas. Mereka tidak menggonggong, tidak berkelahi, tidak pergi bermain ke sawah dekat rumah kami, tidak meninggalkan teras. Nafsu makan mereka menurun, meski saya sudah mengubah menu. Pemandangan yang sangat membuat frustasi, apalagi kami, para manusia juga merasakan hal yang sama.
Sayapun, yang sedang hamil 37 minggu, mengalami penurunan berat badan yang cukup signifikan. Memang, matahari kami pergi, dan semua makhluk bersedih karena kepergiannya yang sangat mendadak. Dengan usia kehamilan yang sudah mendekati kelahiran, rencana awal kami yang ingin tinggal di Ubud beberapa lama tetap harus dilakukan. Lokasi rumah yang di pelosok membuat kami tidak memungkinkan menunggu di sana sampai tiba saatnya lahir. Sehari sebelum kami berangkat, Munel, satu anjing kami yang juga adalah favorit Ibu, tidak mau makan sama sekali. Dia adalah seekor anjing bali kecil pendek, yang selalu menemani Ibu di dapur saat memasak. Ah, Ibu memang sangat menyukai anjing trah kecil dan juga yang banyak makannya. Saya memberikan air kelapa, dan beberapa obat herbal lain yang biasa kami berikan pada anjing-anjing kami kalau mereka kehilangan nafsu makan. Dia meminumnya, sedikit. Esok malamnya, dia sudah lebih lincah dan mencari-cari kami dan menjilat-jilat tangan kami. Saat itu saya merasa lebih tenang meninggalkannya pergi ke Ubud. Tiba di Ubud malam hari, saya dan suami yang kelelahan, langsung tertidur. Esok paginya, kami mendapat telepon. Munel ditemukan mati. Saya dan suami, yang sudah tidak kuat menampung berita kematian, langsung tidak bisa berkata apapun. Munel, ikut Ibu. Saat saya sudah kehilangan kepercayaan terhadap semua hal tak mungkin diatas kemampuan manusia, anjing ini menunjukkan lagi betapa saya salah besar. Seekor makhluk kecil berkaki empat juga bisa mati karena kesedihan mendalam, dan memutuskan untuk melanjutkan pengabdiannya untuk manusia yang sangat disayanginya. Kami sekeluarga sudah tidak punya tenaga untuk menangisi anjing kami. Munel dikubur di rumah. Kesedihan itu terlalu berlarut-larut, terlalu dalam, terlalu beruntun. Kami melewati hari-hari di Ubud menunggu kedatangan matahari kecil baru dengan kemuraman. Dan dunia memang selalu adil, semua sudah tergariskan, kita tinggal menjalani samsaranya dan selalu dikejutkan saat menyadari bahwa semua hal pasti terjadi tepat pada waktunya. Seekor anjing kecil, datang pada kami, di Ubud. Dia di tempatnya yang dulu menjadi beban, dibawa suami ke rumah dengan suka cita. Namanya Sate. Seekor anjing super ceria dengan tatapan mata membutuhkan. Pertama kali saya bertemu dengan Sate, dia langsung mencium perut saya, menjilatinya sebentar, dan tidak mau meninggalkan saya. Dimanapun saya duduk, dia menghampiri dan tidur dekat-dekat. Dia akan naik ke pangkuan suami saya dan mencoba menciumi dagunya. Sekali lagi, anjing ini seolah berkata, “Aku di sini untuk kalian.” Hari-hari kami jadi terobati dengan tingkahnya. Mungkin karena setelah masa-masa kehilangan itu, kami diberi kesempatan untuk bertumbuh dan merawat sebuah nyawa lagi. Sungguh menakjubkan saat tahu bahwa seekor anjing kecil bau yang hampir dibuang ini menyadarkan kami dengan konsep hidup-tumbuh-mati, kepemilikan dan kehilangan, kelekatan dan melepaskan, kecintaan dan kelegaan. Maka saat hari-hari menyedihkan itu kembali menyapa lewat semilir anginnya untuk mengingatkan luka, atau awan-awan kelabu yang terlihat datang memberi pelajaran baru pada kami, kami akan melaluinya. Kami akan menikmatinya. Dengan berpegangan erat pada anjing-anjing penuntun kami. Yang baru datang maupun telah pergi.
1 Comment
Sasmita
5/8/2017 08:20:06 pm
Post yg berikutnya,, Fotonya Sate ya gra,, 😆 Skalian foto si kecil jg,, 😍
Reply
Leave a Reply. |
Categories |