Seminggu yang lalu, Ibuku meninggalkan kami.
Sebenarnya beliau adalah Ibu mertua, tapi kedekatan kami terasa seperti aku sudah mengenalnya saat masih ada di rahim. Beliau sakit, dan pergi dengan cepat. Meninggalkan suami, 3 anak-anaknya dan 11 anjing. Kami sangat terpukul, dan hal itu juga terlihat jelas pada anjing-anjing kami. Tinggal dengan 11 anjing Bali tidak mudah. Mereka selalu memiliki cara untuk menantang kita, dan jarang mendengar perintah. Mereka membuat kelompok dan mengurus dirinya sendiri. Kadang aku berpikir, kami hanya tukang memberi makan saja. Tapi, kejadian ini membuatku benar-benar belajar satu hal baru dan mengubah pandangan sinisku soal kemandirian mereka yang keterlaluan. Saat aku tidak di rumah, Ibulah yang rutin memberi anak-anak keras kepala ini makan. Jadi Ibu sudah jadi bagian mereka juga. Semalam sebelum kepergian beliau, semua anjing kami tidur di depan kamarnya. Tidak boleh ada anjing yang masuk ke kamar utama, terlebih karenaAyah yang alergi debu dan bulu halus. Tidak pernah terjadi sebelumnya, semua anjing tidur di satu tenpat yang sama. Mereka punya hirarki, biasanya tiap malam mereka terbagi menjadi grup jaga sayap depan, di teras dan di dapur. Salah satu anjing kami, Kei, tiba-tiba saja menerobos masuk kamar dan tidur di dekat Ibu. Kami berusaha mengeluarkannya – dan biasanya sangat mudah – tapi gagal. Dia merebahkan badan seberat 25 kilogramnya di dekat Ibu, dan memejamkan matanya rapat-rapat. Kami menghardik, menyeret dan mencongkel pantatnya dengan sapu, dia tidak bergerak. Anak bongsor ini pura-pura sudah tidur lelap. Dan Ibupun berkata, “Biar saja di sini, mungkin dia khawatir sama Ibu”. Dan kami membiarkannya di dalam, dengan 10 anjing lain tersebar di depan kamar. Kemudian datanglah saat tergelap itu. Ibu pergi Senin tengah malam. Pagi berikutnya, saat air mata sudah terkuras habis dan kami berusaha naik ke permukaan, kami duduk di teras dengan meminum secangkir air jeruk madu hangat, memandang kekosongan. Pikiran kami beterbangan ke ingatan masing-masing tentang Ibu. Dan pagi itu, pemandangannya begitu menyejukkan. Satu persatu anjing kami datang, menyenggol kami dengan moncongnya, menggosok kepala dan badannya pada bahu kami, naik ke pangkuan atau menyelusup ke sela-sela kaki, dan menjilat kaki. 11 anjing Bali kami yang keras kepala, yang sering saling menganggu dan berkelahi karena sebuah batu, datang dan menyokong kami, menarik kami kembali. Aku bisa merasakan kehilangan mereka. Bahkan anjing kami yang paling mandiri dan aktif, Nyamnyo, mendatangi suamiku dan duduk di pangkuannya, sambil sesekali mencium-cium dagunya. Sepertinya dia berkata, “Kami ada di sini untuk kalian”. Mata sembab kami tersenyum, hati kami seketika hangat. Kami sekeluarga yang sedang benar-benar hancur, tidak punya sisa kekuatan untuk menarik satu sama lain. Dan makhluk-makhluk inilah yang melakukannya. Mereka merasakan, dan langsung tahu apa yang harus dilakukan. Dan disitulah kami, 15 makhluk saling berpelukan. Kami menangis sambil tertawa, mengelus kepala mereka dan mereka menggoyangkan ekornya pelan. Mata mereka menatap dalam ke jiwa. Dengan pasti menariknya kembali ke kenyataan. Kami merasa baikan. Akhirnya aku tersadar, untuk seekor anjing Bali, ruang pribadi sangatlah penting. Mereka menjaga kita tanpa kita sadari, karena mereka memberi kita ruang. Dan saat akhirnya mereka melakukan intervensi, itu karena mereka tahu, saat kita benar-benar membutuhkan mereka. Mereka mandiri, dan mungkin tidak selalu suka dipeluk. Mereka tidak suka saat kami mencium mereka dan memanusiakannya, tapi mereka selalu ada, di waktu dan tempat yang tepat. Saat upacara kremasi dilangsungkan hari Rabu esoknya, semua pergi meninggalkanku sendiri di rumah. Wanita hamil dilarang ke setra (kuburan) jadi 10 anjing-anjingku menjagaku. Mereka memberiku ruang, mungkin untuk tenggelam dalam kesedihan. Tapi kemanapun aku berjalan, mata mereka mengikuti. Sementara anjing alfa kami, Mona, pergi ke upacara kremasi. Dia tidur di bawah Layon (peti tempat Ibu beristirahat), di atas Bale (bangunan terbuka khas Bali yang ada di rumah-rumah). Mona sangat protektif, jadi tak seorangpun dari Banjar yang berani menyuruhnya pergi. Keluarga besar kami juga meminta agar Mona dibiarkan di sana. Saat Layon diturunkan dan dibawa ke kuburan, Mona melolong. Lolongan sedih dan panjang, datang dari seekor anjing kacang hitam putih berbadan mungil. Dia mengikuti iring-iringan sampai ke kuburan. Menatap api membumbung yang membakar raga Ibu, sampai menjadi abu.. Mona menjadi pusat perbincangan. Semua mengatakan betapa setianya anjing itu. Tampaknya pemandangan ini jarang dilihat orang Bali yang sudah sering bersama anjing bertahun-tahun. Atau mungkin, mereka baru saja tersadar. Ibu kami telah mengajarkan banyak hal. Dan menyadarkanku tentang kepribadian anjing Bali adalah salah satunya. Aku ternyata belum banyak mengetahui mereka. Membuatku menghormati dan lebih menghargai keberadaannya. Mereka sudah di sini jauh sebelum kita; kenapa kita berpikir kita lebih pintar? Lebih baik? Melihat kesebelas anjingku sekarang, aku sudah tidak khawatir. Ternyata aku bukanlah pengurus mereka, tapi merekalah yang mengurusku. Memberi mereka makan hanya satu hal kecil yang bisa kulakukan untuk membalasnya. Terimakasih, 11 penuntunku, bersulang untuk masa-masa tabrakan emosional di lain waktu. Aku tahu, kalian akan selalu ada di sekitar, bertumbuh dan menjaga, melihat dan merasa.
0 Comments
Leave a Reply. |
Categories |