Pertemuan pertamaku dengan anjing Bali (atau cukup anjing saja dalam perspektif mudaku) adalah 24 tahun lalu. Saat itu aku masih 3 tahun, dan ingat mengelus Beni, anjing keluarga berbulu kecoklatan. Ayahku bilang Beni didapat dari kampung halamannya, di kaki gunung Batukaru, dari induk bernama Luweng (yang berarti wanita dalam bahasa Bali). Luweng beranak tiga, salah satunya adalah Beni, di dalam gua yang dia gali sendiri sambil menjaga kebun coklat milik Kakek yang seluas 45 are. Aku tidak pernah bertemu Luweng, tapi cara Ayahku menceritakannya saja sudah membuatku bangga.
Sebagai orang Bali yang sudah dikelilingi dan tumbuh bersama anjing selama 27 tahun (yang juga seumur hidupku), aku hampir lupa betapa bernilainya mereka. Saking banyaknya jumlah mereka di sekitarku, mereka begitu terlihat… biasa. Mereka sudah terlalu lama bersama kita sampai kita berhenti memikirkan nilainya. Mereka menjaga rumah kita dari orang atau binatang asing, ladang, memakan tai-tai majikan dan tetangga yang belum memiliki toilet, mengikuti kita ke sawah, sekolah, menunggu sisa makan siang kita, bermain dengan anak-anak kita, berkelompok-kelompok untuk melindungi desa. Entah mereka berwarna coklat, putih, hitam, putih dengan totol hitam, krem, anggrek, coklat tua dengan moncong hitam, berbulu panjang, pendek, kuping naik, kuping turun, ramping, tinggi atau pendek, bernama Beni, Pepe, Heli, atau Dogi, anjing-anjing ini sudah menjadi bagian dari kehidupan orang Bali, belajar dan memposisikan dirinya di dalam hirarki desa. Lucu kalau ternyata si anjing yang serba bisa ini malah dianggap biasa oleh sebagian besar masyarakat. Seperti sudah tidak dianggap keahlian spesial, saking lamanya mereka berada di sekitar kira. Mereka hapal rutinitas kita, mereka membaca kita, mereka melindungi kita. Bahkan mereka mengorbankan diri mereka untuk upacara. Sesuatu yang tidak akan bisa dimenangkan anjing jenis lain. Tapi kita, orang Bali, memilih untuk tidak melihat itu sebagai hal yang patut dibanggakan. Itu sudah sangat, sangat biasa. Dengan banyaknya jenis anjing yang datang ke Bali sejak akhir 2008, keberadaan anjing Bali semakin tidak diinginkan. Jenis anjing lain dengan semua merk dan nilai mereka (jika semua bisa dinilai uang), menempelkan merk baru ke anjing Bali yang dulu biasa disebut anjing atau Cicing saja, menjadi “Cicing Kacang”. Dan menurut saya, merk itu sangat menurunkan nilai mereka. Masyarakat Bali, dengan segala kemajuan yang cepat ini, merasa bahwa kita harus mengejar semua teknologi, gaya hidup dan pasar yang diberikan dunia. Tapi jauh di dalam hati, kita masih orang-orang desa Bali yang polos, tak ubahnya seekor Cicing Kacang, anjing yang sudah kita lupakan keberadaannya. Kita hanya ingin melakukan tradisi yang sudah ada ribuan tahun bersama kita. Semua kemajuan ini membutakan kita di tempat-tempat yang salah, dan menjatuhkan beberapa hal yang paling bernilai di Bali. Anjing Bali, dilihat dari nilai uang, tidak akan pernah menang melawan anjing cantik berbulu penuh dengan perawatan mahal. Tapi dari nilai budaya, mereka permata. Bali tidak akan pernah sama tanpa anjing Bali yang menggonggong, bergerombol di jalanan desa, mengejar motor, mengeroyok anjing baru, anak-anak anjing berlarian bersama induk mereka, mengorek sampah pasar atau kuburan. Entah kenapa, setelah sekian lama hal itu berjalan, semuanya baru terlihat salah sekarang? Kenapa kita menyalahkan sesuatu yang sudah menolong kita tapi tidak pada pola pikir kuno yang kita punya? Kenapa kita menyalahkan anjing-anjing ini karena mengorek-ngorek sampah, berdalih keindahan lingkungan dan pariwisata sementara kita sendiri masih sering membuang sampah sembarangan? Kenapa kita menyalahkan anjing-anjing ini soal rabies sementara kita sendiri yang tidak tahan membawa anjing tidak jelas ke pulau kita sendiri? Kenapa kita menyalahkan anjing-anjing ini beranak pinak sementara kita tidak berhenti menternakkan anjing jenis lain? Pernah berpikir siapa sumber masalah sebenarnya? Kita semua, sebagai orang Bali, harus meluangkan waktu sebentar untuk duduk dan berpikir tentang hal-hal yang telah kita lakukan pada anjing Bali. Dan sepertinya kita harus berpikir dengan keras. Kesetiaan, dedikasi dan pengorbanan mereka. Bukan dalam beberapa tahun. Kita berbicara 12,000 tahun lamanya. Sudahkan kita menyadari nilai mereka? Anjing biasa itu, yang kita miliki sejak lama, yang tidak pernah kita perhatikan – bahkan hanya untuk melihat kegagahan mereka, warna, kelakuan atau keseharian mereka – tidak diragukan lagi adalah anjing paling bernilai yang harus kita banggakan. Mereka berhak menerima gelar “Bali” di belakang nama umum mereka; Anjing. Bukan Cicing Kacang. Mereka berhak mendapatkan penghormatan, kasih sayang dan perlindungan lebih dari kita, orang Bali. Karena kita sama-sama pribumi, karena kita sama-sama penduduk Bali.
0 Comments
Leave a Reply. |
Categories |